Makanan yang halal adalah makanan yang diperbolehkan oleh syariat untuk
kita konsumsi. Makanan yang halal juga makanan yang diperoleh dengan
cara yang baik dan halal pula. Bekerja mencari sesuap nasi dan karunia
rezeki merupakan kewajiban tiap insan dalam kehidupan di dunia.
Sayangnya, tidak setiap orang meyakini bahwa jatah rezekinya di dunia
ini telah disediakan oleh Allah. Akibatnya, karena gelap mata, ia
melakukan segala cara untuk memperoleh beberapa lembar rupiah lewat cara
yang tak terpuji seperti mencuri, merampok, melakukan korupsi, dan
sebagainya.
Padahal, telah jelas larangan dalam Al-Qur`an perihal mengonsumsi
makanan yang diperoleh dengan cara illegal dan tak bertanggungjawab
seperti di atas. “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling
memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan
perniagaan yang berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu.” (Qs.
An-Nisa` : 29).
Ketika seseorang memasukkan makanan dari jalan yang haram, masuk ke
dalam aliran darah, lalu menjadi daging, maka potensi berbuat kebaikan
menjadi meredup, semangat berbuat kebajikan menjadi susut, memiliki kans
besar menjadi penghuni neraka, dan kelak ia akan menghadapi persidangan
hisab dengan sangat berat. Ibnu Ruslan dalam kitab Zubad-nya mengatakan
yang artinya: “Ketaatan yang bersumber dari makanan yang haram seperti
sebuah bangunan yang dibangun di atas ombak.”
Sebaliknya, manakala seseorang menjaga mutu dan kualitas makanan yang
akan ia konsumsi, mengetatkan perhatiannya dalam hal apa yang boleh dan
tidak masuk ke dalam perutnya dan keluarga yang menjadi tanggungannya,
ia akan memperoleh manfaat buah dari ikhtiyarnya menjaga makanan dan
minuman yang masuk.
Setidaknya, ada lima buah manfaat dalam makan makanan yang halal.
Pertama, seseorang yang mengonsumsi makanan halal akan mudah bangkit
guna melakukan ketaatan dan ibadah. Disebutkan dalam sebuah atsar yang
berbunyi, “Barangsiapa yang memakan makanan yang halal, anggota tubuhnya
akan mudah melakukan ketaatan dalam keadaan suka atau tidak suka. Dan
barangsiapa yang memakan makanan yang haram, suka atau tidak anggota
tubuhnya akan melakukan kemaksiatan.”
Ketaatan maupun kemaksiatan berbanding lurus dengan makanan dan minuman.
Hasilnya terlihat jelas. Memakan makanan yang halal, diperoleh dengan
jalan yang halal, menjadikan ketaatan mudah dilakasanakan. Berbeda
dengan itu, memasukkan makanan yang haram, membuat tubuh sangat mudah
pula menyimpang dari jalan kebenaran.
Habib Abdullah bin Husain bin Thahir pernah mengatakan, “Memakan makanan
yang halal adalah sumber kebaikan yang besar. Dampak suatu ibadah tidak
dapat muncul kecuali jika asupan makanannya adalah baik dan tidak
bercampur dengan syubhat.”
Kedua, doa orang yang mengonsumsi makanan yang halal mudah dikabulkan
oleh Allah. Dalam suatu kesempatan, Sa`ad bin Abi Waqqash meminta kepada
Rasulullah SAW agar berdoa kepada Allah, minta dijadikan sebagai orang
yang doanya mudah dikabulkan oleh-Nya. Lalu, Rasul SAW berkata kepada
Sa`ad, “Perbaiki makanan yang engkau makan niscaya engkau menjadi orang
yang doanya mudah dikabulkan.” (HR. Thabrani)
Ketiga, keturunan orang yang menjaga mutu makanan yang dikonsumsi dapat
melahirkan keturunan yang shalih-shalihah. Syaikh Abdul Qadir Al-Jailani
dalam bukunya Al Ghun-yah, mengatakan, “Bila telah tampak tanda
kehamilan pada diri seorang perempuan hendaklah suaminya betul-betul
menjaga kebersihan makanannnya dari hal yang haram atau syubhat agar
anak itu tidak ada jalan bagi setan untuk masuk dalam penciptaannya.”
Lebih lanjut, dikatakan oleh Al-Jailani, “Yang paling baik adalah
menjaga makanan sejak ketika menikah, agar selalu dalam kebaikan
sehingga keluarga dan anaknya dapat selamat dari pengaruh setan di dunia
dan selamat dari hukuman di akhirat, bersamaan dengan itu, akan lahir
anak yang shalih, berbakti kepada kedua orangtuanya, dan taat kepada
Tuhannya, dimana semuanya itu dapat diraih dengan menjaga kebersihan
makanan.”
Dikisahkan, ada seorang mantan budak kurus yang dimerdekakan oleh
tuannya. Namanya Mubarak. Setelah merdeka, dia bekerja pada seorang
pemiliki kebun sebagai buruh. Suatu hari, sang tuan mengunjungi kebunnya
bersama dengan beberapa sahabatnya. Dipanggillah Mubarak, “Petikkan
kami beberapa buah delima yang manis.” Bergegaslah Mubarak melaksanakan
perintah sang tuan. Dia memetik beberapa buah delima, diserahkannya
kepada sang majikan. Ketika majikannya mencicipi delima yang dipetik
Mubarak, tak satupun ada yang manis. Semuanya masam. “Apa kamu tak bisa
membedakan delima yang manis dan yang masam?,” tanya sang majikan dengan
nada marah.
Mubarak menjawab, “Demi Allah Tuan, saya tidak pernah mencicipi satu
buah pun. Bukankah Anda hanya memerintahkan saya menjaga dan tak pernah
mengizinkan saya mencicipinya? Sehingga saya tak pernah tahu, mana
delima yang asam dan manis.” Sang tuan merasa kaget dan tak percaya,
bertahun-tahun bekerja di kebun itu, tapi Mubarak tak pernah makan satu
buah pun.
Singkat cerita, selang beberapa hari, sang tuan datang menemui Mubarak
untuk dinikahkan dengan putrinya, “Aku tidak mendapati laki-laki yang
lebih bertakwa kepada Allah melebihi dirimu. Maka aku akan menikahkan
putriku denganmu.” Dari rumah tangga yang dibina Mubarak atas dasar
ketakwaan tersebut, lahirlah keturunan yang shalih yang di kemudian hari
menjadi seorang ulama besar, ahli hadits, pejuang yang pemberani,
seorang kaya yang dermawan, yaitu Abdullah Ibnu Mubarak.
Keempat, hati menjadi terang dan penuh hikmah. Diriwayatkan,
“Barangsiapa makan makanan yang halal selama empat puluh hari, Allah
sinari hatinya dan mengalirkan sumber-sumber hikmah dari hati dan
lidahnya.”
Kelima, makanan yang halal dapat menjadi obat penyembuh bagi penyakit
yang diderita. Salah seorang Tabi`in bernama Yunus bin Ubaid mempunyai
pengalaman menjadi makanan yang halal sebagai obat. Ketika ia memperoleh
satu dirham dari jalan yang halal, ia menggunakan uang tersebut untuk
membeli gandum. Gandum tersebut digiling. Setelah selesai masak, ia
berkeliling di sekitar tempat tinggalnya, menawarkan bantuan pengobatan
bagi orang-orang sakit yang sudah tidak dapat diobati oleh dokter.
Caranya, ia suapkan gandum tersebut kepada ‘pasiennya.’ Kata Yunus,
“Orang tersebut dapat sembuh pada waktunya.”
Dalam pengalaman yang berbeda, Imam Syafi`i yang bertandang ke kediaman
muridnya, Imam Ahmad, mendapat protes dari putri Imam Ahmad. “Tidakkah
Ayah perhatikan saat kita makan malam bersama setelah Isya, dia makan
begitu banyak?”
Imam Ahmad yang mendapat pertanyaan tersebut, menemui Imam Syafi‘i untuk
memastikan kebenaran cerita sang putri. Kata Imam Syafi`i, “Putrimu
benar tapi kenyataannya tidak seperti yang dia lihat. Aku makan banyak
karena tahu makananmu halal dan kau orang baik, dermawan. Makanan halal
yang disajikan orang dermawan akan menjadi obat. Waktu itu aku banyak
makan bukan untuk mengenyangkan diri, melainkan agar aku sehat.”
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar